Jumat, 15 Januari 2021

Secuil Cinta Di Kampus Biru

        Januari tepatnya, ketika bulan yang penuh dengan ketegangan menghadapi imtihan itu. Hmm…. Kitab-kitab berbahasa arab itu seperti enggan lepas dari tangan. Semua mulut berkomat-kamit menghafal bait demi bait tulisan dalam kitab-kitab itu. Aku pun tak kalah dengan teman-teman. Tangan sibuk membolak-balik kitab, mata pun hanya tertuju pada kitab yang dibaca. Bersama-sama kami belajar di ruangan senyaman Mustawa Robi’ untuk mencapai sebuah keberhasilan & Najjah Kulluha. 

    Yaa…. Harapan kami bisa lulus bersama-sama saat itu. Imtihan pun di mulai selama kurang lebih 2 minggu. Sedang para Ustadzah sudah siap dengan lembaran-lembaran soal untuk kami jawab. Ada berbagai macam raut muka teman-teman saat lembaran itu sudah sampai di depan mata mereka. Apalagi saat pena mulai di ayunkan menyusuri kertas jawaban itu. Hehee… aku sendiri begitu. Tak jauh beda dengan teman-teman. Tatapan mereka mengisyaratkan sesuatu. Yuups…! Menanti sebuah jawaban atau ilham dari yang Maha Kuasa. Tapi… harapan-harapan itu jarang terijabah, karena mata elang para ustadzah pengawas tak pernah lepas melihat kami.                     

        Ruangan sunyi. Senyap. Hanya suara gesekan kertas jawaban saja yang terdengar. Sampai-sampai suara ustadzah pun mengagetkan ku. “Ya akhwati, waktu tersisa 20 menit lagi!” suara Ustadzah lantang mengingatkan sambil mengawasi kami dari depan kelas. Kami bergegas melanjutkan perjuangan kami. Beberapa temanku ada yang telah menyelesaikan jawabannya dan segera memberikan lembar jawaban sebelum waktu habis, namun tak sedikit juga dari teman-teman yang menunggu hingga jaros tanda berakhirnya ujian memanggil. 

         Aku merasakan sakit tiba-tiba di perutku. Aku baru ingat, kalau paginya aku tidak sempat sarapan karena terburu-buru. Khawatir sepeda yang biasa ku tumpangi tersedat menuju kampus. Khawatir entah lambat karena pengayunnya atau yang mengayunnya. Yang jelas, aku tidak boleh terlambat masuk kelas hanya karena sepeda yang selalu komplain meminta di ganti dengan kendaraan bermesin roda dua itu. Huft... sempat-sempatnya bermimpi disaat genting seperti ini. Tanganku tidak sibuk lagi meladeni pena untuk difungsikan, karena perut ku juga mulai meronta ingin dielus. Ku coba bernegosiasi, berharap perut bisa kuajak kompromi untuk kali ini saja. Namun usus semakin melilit dan lambung semakin perih. 

        Jam dinding menunjukan pukul 11.45 WIB dan ia belum sama sekali terisi. Penderita penyakit maag memang selalu serba teratur. Sampai makan saja tidak boleh terlambat. Teman sebelah ku melihat keadaan ku dari tempat duduknya yang hanya berjarak setengah langkah dari tempat dudukku. Sambil menyodorkan minyak angin, ia berkata: “Ukh.. Ambillah ini untuk memperingan sakitnya” “Jazakillah ukhti...” sambil memasang setengah senyum karena menahan sakit. Tidak sempat tangan ku meraih minyak angin itu, ustadzah sudah berdiri diantara kami berdua dan langsung mengambil lembar jawaban kami. 

        Tanpa babibubebo, kami berdua di sidang didalam idaroh. Dan tentu aku tau mengapa kami sampai berada di ruangan ini. Dengan tenang dan menahan sedikit sakit, aku dan temanku menjelaskan secara bergantian perihal apa yang terjadi sebenarnya. Ustadzah hanya terdiam tanpa memberi jawaban yang pasti hingga kami diperbolehkan keluar idaroh. Berkali-kali aku memohon ma’af kepada teman ku itu atas kesalahpahaman itu. Dan ia pun dengan besar hati menerima semua yang terjadi. Walau ku tau, hal ini bisa mengancam nilai akhir kami berdua nanti. Aku hanya bisa berdoa dan tawakal, menyerahkan semua urusan ini kepada Pemilik Hati yang sebenarnya. Mudah-mudahan Ustadzah percaya terhadap penjelasan kami tadi. Aku merasakan ada secuil cinta yang diam-diam menyelusup untukku.         Ya, ini cinta. Cinta karena Allah. Karena ukhuwah yang mengikat persaudaraan kita. ~~~ Akhir Januari, 2 lembar pengumuman yang menarik perhatian kami sudah terpampang di mading Ma’had Sa’ad Bin Abi Waqqash. 

         Dag dig dug…. !!! Hasil dari peperangan melawan soal-soal itu pun datang juga. Dengan perasaan cemas, kaki melangkah di kerumunan akhwat yang juga melihat pengumuman itu. Dan hasil perjuangan ku selama kurang lebih 2 tahun ini, akhirnya.... Ku ucapkan dengan bibir sumringan... 

 “Allahu Akbar, Teman-teman…. Sampai bertemu di wisuda nanti……..!!!!! 

Alhamdulillah, aku lulus dengan predikat jaid!” 

         Dengan gembira aku langsung menghubungi keluarga ku yang berada di kota Pagaralam dan mengabarkan berita itu. 95% Mustawa Robi’ Najjah, Alhamdulillah…! Dan itu juga sudah termasuk temanku yang telah berbaik hati pada ku saat imtihan. Bahkan nilainya nyaris mumtaz, melebihi nilaiku! Subhanallah.. Itu lah balasan Allah kepada orang yang mencintai saudaranya. Sedangkan aku, walau nilai yang aku dapat tak begitu memuaskan,. Tapi aku yakin, segalanya bukan hasil yang dilihat tapi bagaimana usahanya untuk mencapai hasil maksimal. 

        Ketika Do’a dan Usaha sudah kita lakukan, hanya tawakal harapan kita. Insya Allah.. inilah yang telah di tetapkan Allah kepada kita. Ikhlas..ikhlas..ikhlas. Teman-teman yang belum lulus tahun itu pun tidak tahan lagi membendung air mata mereka. Dan akhirnya tumpah bersama kegembiraan kami. Bercampur baur menjadi satu. Jadi ingat status teman dalam jejaring sosial. 

        Katanya, “jangan menangisi sesuatu yang terjadi, karena siapa tau hal yang kita tangisi sekarang akan kita syukuri dikemudian hari”. Bravo deh buat shodiqoti! ^_^ Dan ternyata benar, teman-teman yang belum lulus waktu itu, akhirnya tahun ini lulus juga dan bahkan mendapat nilai bagus di kampus biru itu. 


 @Ma'had Sa'ad bin Abi Waqqash Palembang