Sibuknya persiapan untuk acara agustusan
membuat kami bersemangat mengikutinya sampai larut malam berlatih. Pemuda-pemudi
karang taruna yang lain juga demikian. Selain perlombaan yang akan kami gelar,
kami juga mengadakan banyak pertunjukan seni, diantaranya ada parodi kocak
abis, vokal yang menyenandungkan lagu wajib tanda cinta tanah air dan juga
tari. Disanalah awal kami membuka sanggar tari Bangunrejo. Berlatih dari tidak
bisa apa-apa, hingga kami yang beranggotakan 6 orang waktu itu siap menampilkan
sebuah tarian melayu Nirmala dengan suara khas Siti Nurhaliza. Aku memang
tertarik terhadap seni tari. Tak heran jika aku bersungguh-sungguh untuk menghafalkan
gerak demi gerak tari nirmala yang sebelumnya belum pernah kukenal. Pelatih
kami dengan sabar melatih kami hingga bisa dan siap tampil tepatnya pada
tanggal 17 Agustus 2008.
Suasana menjadi semakin hangat kunikmati saat ada
sesosok tubuh hadir melihatku berlatih bersama teman-teman yang lain.
Semangatku menjadi berlipatganda karena kehadirannya. Al namanya. Seorang
laki-laki yang belum lama kukenal, namun meninggalkan kesan begitu mendalam
bagiku. Dia berbeda menurut pandanganku. Dingin, cuek, seolah tak peduli.
Itulah yang membuat rasa penasaranku menyeruak hebat. Aku ingin mendekatinya,
tapi rasa malu cukup membisik. Tak ada pilihan aman selain kubiarkan saja
berjalan bergandengan waktu. Ternyata, tak hanya aku yang menaruh perhatian
padanya, sebab diapun demikian. Oh..senangnya. Jabatannya sebagai wakil ketua
karang taruna tak pernah absen memantau kami latihan hingga kami berhasil
menampilkan tarian yang kami persembahkan untuk masyarakat sekitar. Diam-diam
aku menikmatinya. Mata ini selalu mencari tegap tubuhnya, sedang telinga sibuk
mencari suaranya.
Entah
mengapa aku begitu tertarik ingin mengenalnya. Padahal, ketika kami bertegur
sapa pun ia tak semanis laki-laki yang sering mengajakku berbicara, bahkan tak
sedikit dari mereka yang merayuku. Dia berbeda. Sosok dewasa itu selalu
membuatku bingung namun ia berhasil membuatku hilang kendali alias salting saat
didekatnya. Tak pernah lupa dengan kritikan tajamnya ia luncurkan untukku.
Katanya: aku seperti anak kecil, bergaulnya pun sama anak-anak yang tak sebaya.
Huft.. awalnya sempat dibuat kesal dan masa bodoh dengan perkataannya. Inilah
aku ujarku membela diri dihadapannya. Aneh, kata teman-teman dia menyukaiku dan
akupun merasakan hal yang tak jauh berbeda. Tapi, mengapa selalu kritikan yang
dia katakan padaku. Kata orang, dia sombong. Tapi aku tak percaya. Sebab,
yang ku rasakan sendiri justru dia jauh dari kebanyakan orang menilainya. Dan waktu
yang terus beroda, walau sempat mengelak atas kritikannya, mau tak mau terfikir
juga olehku. Dan saat mengenalnya lah aku mulai berubah. Semua kritikannya
sebisa mungkin aku perbaiki. Belajar dewasa dan mengenal diri sendiri.
Tepat
tanggal 5 Oktober 2008 dengan suara terbata-bata ia berjalan di depanku. Ketika
itu kami sedang menikmati liburan ba’da Idul fitri di Cughup Mingkik bersama
anggota karang taruna. Aku tak biasa seperti ini, karena dari kebanyakan yang
ikut adalah orang-orang yang umurnya diatasku. Pergaulanku tak sampai sana, umurku
saja baru terbilang ABG. Aku hanyalah anak yang pemalu, kuper dan apa adanya.
Namun, tangannya lah yang membawaku kepada mereka, ia membuatku percaya diri
berada disekeliling mereka. Dan ketika ia mengungkapkan perasaannya sambil
menundukan kepala, aku sungguh heran. Apa yang aku lihat memang tak biasa. Sebagian
orang yang mengungkapkan cinta padaku kalau tidak berada disebelahku, mungkin
didepanku sambil matanya meyakinkanku. Dia berbeda. Tak ku balas langsung
perasaannya dengan perkataanku. Sebab, aku takut, ia hanya mempermainkanku. Sebab
dia terlalu dewasa untukku. Sebab, aku tau benar, ketika diri ini mulai jatuh
cinta, maka pasti akan terasa sulit untuk melupakannya. Sejujurnya, aku takut
jatuh cinta dan kemudian harus merasakan sakitnya. Aku hanya diam. Diam menerka
perasaan terdalamnya. Hati bertanya-tanya, apa aku pantas bersamanya? Menjalin
hubungan dengannya? Sedangkan aku hanya anak yang baru belajar apa itu arti
kedewasaan.
Kubiarkan satu hari berlalu dengan
perasaan yang tak menentu dihatinya. Begitu juga hatiku. Bingung apa yang harus
kujawab atas pernyataannya itu. Kubulatkan tekad untuk mencoba. Ada keyakinkan
dari hati kecilku, bahwa ia tak seperti laki-laki lain. Yang hanya
mempermainkan perasaan wanita, merasa dirinya hebat dengan banyaknya koleksi
mantan pacar, atau tipikal laki-laki tebar pesona. Tidak, ku mantapkan lagi
hati ini. Dia berbeda.
Kuambil handphone biruku lalu ku ketik
pesan singkat untuknya.
“Jika Kakak menginginkan jawabannya, maka
datanglah ke rumahku sekarang!”
Dag did dug aku menunggu kedatangannya. Tak
berapa lama pesan singkat itu menerima balasannya, ‘iya”. Ia langsung datang
dengan kemeja putihnya dan memarkirkan motornya di depan teras rumahku bak
pangeran berkuda putih. Rumah kami memang tak begitu jauh jaraknya, hanya
selisih 4 RT. Senang bercampur tegang kuhidangkan saat ia mulai duduk di sofa
yang mulai menua. Kukatakan sejujurnya, kalau ku juga memiliki perasaan yang
sama tehadapnya. Seketika itu aku seakan menjadi orang yang paling beruntung di
dunia, apalagi ku dapati ia menyunggingkan senyuman tulus untukku. Senyuman
yang jarang sekali ia pamerkan bahkan ia jajakan pada wanita lain. Tak mengapa
banyak orang mengatakan dia cuek dan sombong. Namun bagiku, ia tak seperti itu.
Ia lebih istimewa dari itu.
Memutar waktu masa silam bersamamu,
240613